Kamis, 02 Agustus 2012

Hitam Putih


Warna jingga menghiasi langit senja dan membuatnya begitu indah. Sang mentari sedari tadi enggan berpamitan dengan suasana yang indah itu. Anak laki-laki berkemeja putih itu sedari tadi duduk di kursi taman sembari memperhatikan anak laki-laki seusianya yang sedang memunguti sampah dengan kaosnya yang lusuh berwarna hitam. Sebuah mobil sedan mewah berhenti dihadapan anak laki-laki berkemeja putih itu. Dari dalamnya, muncul 2 orang pria dewasa bertubuh tegap dan besar mengenakan jas hitam dan siap menjemput anak laki-laki berkemeja putih tersebut.
“Tuan muda, Tuan besar meminta kami menjemput tuan,” ujar salah seorangnya sembari mengeluarkan jas hitam kecil dari sebuah koper.
“Panggil namaku saja, Erik. Sebab aku tak suka sebutan tuan,” jawab anak laki-laki berkemeja putih tersebut sembari mengenakan jas hitam yang telah disediakan. 3 orang berjas hitam tersebut masuk ke dalam mobil sedan yang mewah.
Kepergian mobil mewah tersebut tidak mempengaruhi kesibukan anak berkaos hitam yang sedang asyik memungut sampah. Ternyata, ia telah menemukan kaos putih usang dari tumpukan sampah yang sedari tadi digelutinya. Karena girangnya, ia segera mengenakan kaos putih tersebut.
Sinar bulan menerangi malam yang sunyi. Menjadi pengimbang untuk warna hitam malam itu. Sebuah pondok kecil tampak berani di tengah hutan yang mencekam. Tetapi anak berkaos putih usang itu tampak lebih berani ketika ia keluar dari pondok itu menuju ke tengah hutan ditemani cahaya lilin yang hampir habis.
“Kau tepati juga janjimu, Arya.” Suara itu berasal dari balik pohon jati yang berada tak jauh dari anak berkaos putih usang tadi. Seorang anak laki-laki mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hitam muncul dari balik pohon jati itu.
“Oh, ternyata kau, Erik!”
“Bagaimana?”
“Kau tampak lebih berani dengan kemeja hitammu.”
“Bukan itu maksudku ...!”
“Oh ... mengenai sebuah janji.”
Exactly!!
“Terserah kau saja ... Aku hanya heran, ada juga anak orang kaya sepertimu.”
“Aku hanya ingin tahu saja, bagaimana rasanya mandiri itu.”
“Ha ... ha ... ha ... Ya, aku juga ingin sesekali merasakan kemewahan.”
“Satu minggu ini adalah kesempatan kita. Orang tuaku pergi ke Belanda selama seminggu, dan aku sudah mengatakan pada seluruh pegawai Ayahku untuk tutup mulut,” Erik melemparkan jasnya pada Arya, “Ayo, sebelum mentari menyapa!”
“Kau yakin?” tanya Arya sembari memberikan lilinnya pada Erik.
Nothing impossible, bagaimana denganmu?”
“Tenang saja, hanya ada kakak-kakakku di rumah. Orang tuaku sudah meninggal. Mereka pasti menyambutmu dengan baik.”
Keduanya berjalan dengan arah yang berlawanan.
Arya masuk ke sebuah rumah bertingkat yang cukup besar. Ketika melangkah masuk ke dalam, ia melihat semuanya tampak berantakan. Banyak tikus berkeliaran, ia tak menemukan seorangpun di sana, bahkan tak ada pelayan. Aneh, Tikus-tikus itu sibuk dengan tugasnya masing-masing, beberapa diantara mereka menyambut kedatangan Arya dengan sinis. Arya memasuki kamar Erik, bersih dan rapi.
Erik mengusap-usap matanya beberapa kali. Seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Dalam pondok kecil itu, hanya ada beberapa katak melompat-lompat. Diantaranya memandangi Erik dengan mata melotot. Erik terperanjat ketika melihat seekor katak menyalakan kompor layaknya manusia. Erik masuk ke sebuah kamar yang di duga kamar Arya, bersih, tidak ada kotoran hewan atau telur katak.
Satu minggu berlalu, dengan susah payah Arya mengusir tikus-tikus itu dari rumah megah Erik. Namun mereka masih saja berkerumun dan jumlahnya semakin banyak. Erik terus membersihkan kotoran katak di atas kayu yang merupakan pondasi bangunan mungil itu. Namun kotoran katak itu masih berserakan.
Tak sampai satu minggu, Erik mendatangi Arya ke rumahnya. Arya yang sedang kejar-kejaran dengan tikus langsung menghampirinya.
“Kau betah dengan semua ini?”
“Dan kau? Tidak jijik dengan kotoran katak-katak itu.”
“Ayo, ikut aku!”
Arya mengajak Erik ke pinggir sungai di tengah hutan. Jauh dari keramaian tikus-tikus ataupun katak-katak yang berlompatan.
“Kau tahu, penglihatan kita sama ...” Erik memulai pembicaraan.
“Ya ... Aku heran dengan diriku yang melihat kakak-kakak kandungku seperti katak. Aku juga heran  dengan kakak-kakakku. Dua  Kakak perempuanku itu sering pulang malam, tiba-tiba paginya ia membawa banyak uang. Tapi uang itu selalu di rebut oleh kakak laki-laki ku untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Entah kenapa aku muak dan benci dengan semua itu.”
“Dan aku tidak melihat kakak-kakakmu ...”
“Penglihatan kita sama, aku juga tidak meihat satupun pelayan di rumahmu ...”
“Ya ... aku juga melihat ada yang janggal. Dulu Ayahku hampir di penjara, tapi kemudian aku melihat Ayah memberikan koper berisi uang pada seorang hakim. Kepalaku pusing tiba-tiba setelah melihat kejadian itu ... dan aku melihat Ayahku seperti tikus...”
“Ayo kita pergi jauh dari tempat ini ...” Arya berdiri dan mengulurkan tangannya.
“Ya, kita cari kehidupan baru di selembar kertas putih, tanpa ada goresan tinta hitam ...”
Kedua anak berkaus putih itu pergi jauh. Entah kemana. Mengikuti arus layaknya air yang mengalir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar