Warna jingga menghiasi langit
senja dan membuatnya begitu indah. Sang mentari sedari tadi enggan berpamitan
dengan suasana yang indah itu. Anak laki-laki berkemeja putih itu sedari tadi
duduk di kursi taman sembari memperhatikan anak laki-laki seusianya yang sedang
memunguti sampah dengan kaosnya yang lusuh berwarna hitam. Sebuah mobil sedan
mewah berhenti dihadapan anak laki-laki berkemeja putih itu. Dari dalamnya,
muncul 2 orang pria dewasa bertubuh tegap dan besar mengenakan jas hitam dan siap
menjemput anak laki-laki berkemeja putih tersebut.
“Tuan muda, Tuan besar meminta
kami menjemput tuan,” ujar salah seorangnya sembari mengeluarkan jas hitam
kecil dari sebuah koper.
“Panggil namaku saja, Erik.
Sebab aku tak suka sebutan tuan,” jawab anak laki-laki berkemeja putih tersebut
sembari mengenakan jas hitam yang telah disediakan. 3 orang berjas hitam
tersebut masuk ke dalam mobil sedan yang mewah.
Kepergian mobil mewah tersebut
tidak mempengaruhi kesibukan anak berkaos hitam yang sedang asyik memungut
sampah. Ternyata, ia telah menemukan kaos putih usang dari tumpukan sampah yang
sedari tadi digelutinya. Karena girangnya, ia segera mengenakan kaos putih
tersebut.
Sinar bulan menerangi malam
yang sunyi. Menjadi pengimbang untuk warna hitam malam itu. Sebuah pondok kecil
tampak berani di tengah hutan yang mencekam. Tetapi anak berkaos putih usang
itu tampak lebih berani ketika ia keluar dari pondok itu menuju ke tengah hutan
ditemani cahaya lilin yang hampir habis.
“Kau tepati juga janjimu,
Arya.” Suara itu berasal dari balik pohon jati yang berada tak jauh dari anak
berkaos putih usang tadi. Seorang anak laki-laki mengenakan kemeja lengan
panjang berwarna hitam muncul dari balik pohon jati itu.
“Oh, ternyata kau, Erik!”
“Bagaimana?”
“Kau tampak lebih berani
dengan kemeja hitammu.”
“Bukan itu maksudku ...!”
“Oh ... mengenai sebuah
janji.”
“Exactly!!”
“Terserah kau saja ... Aku
hanya heran, ada juga anak orang kaya sepertimu.”
“Aku hanya ingin tahu saja,
bagaimana rasanya mandiri itu.”
“Ha ... ha ... ha ... Ya, aku
juga ingin sesekali merasakan kemewahan.”
“Satu minggu ini adalah kesempatan
kita. Orang tuaku pergi ke Belanda selama seminggu, dan aku sudah mengatakan
pada seluruh pegawai Ayahku untuk tutup mulut,” Erik melemparkan jasnya pada
Arya, “Ayo, sebelum mentari menyapa!”
“Kau yakin?” tanya Arya
sembari memberikan lilinnya pada Erik.
“Nothing impossible, bagaimana denganmu?”
“Tenang saja, hanya ada
kakak-kakakku di rumah. Orang tuaku sudah meninggal. Mereka pasti menyambutmu
dengan baik.”
Keduanya berjalan dengan arah
yang berlawanan.
Arya masuk ke sebuah rumah
bertingkat yang cukup besar. Ketika melangkah masuk ke dalam, ia melihat
semuanya tampak berantakan. Banyak tikus berkeliaran, ia tak menemukan
seorangpun di sana, bahkan tak ada pelayan. Aneh, Tikus-tikus itu sibuk dengan
tugasnya masing-masing, beberapa diantara mereka menyambut kedatangan Arya
dengan sinis. Arya memasuki kamar Erik, bersih dan rapi.
Erik mengusap-usap matanya
beberapa kali. Seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Dalam pondok kecil
itu, hanya ada beberapa katak melompat-lompat. Diantaranya memandangi Erik
dengan mata melotot. Erik terperanjat ketika melihat seekor katak menyalakan
kompor layaknya manusia. Erik masuk ke sebuah kamar yang di duga kamar Arya,
bersih, tidak ada kotoran hewan atau telur katak.
Satu minggu berlalu, dengan
susah payah Arya mengusir tikus-tikus itu dari rumah megah Erik. Namun mereka
masih saja berkerumun dan jumlahnya semakin banyak. Erik terus membersihkan
kotoran katak di atas kayu yang merupakan pondasi bangunan mungil itu. Namun
kotoran katak itu masih berserakan.
Tak sampai satu minggu, Erik
mendatangi Arya ke rumahnya. Arya yang sedang kejar-kejaran dengan tikus
langsung menghampirinya.
“Kau betah dengan semua ini?”
“Dan kau? Tidak jijik dengan
kotoran katak-katak itu.”
“Ayo, ikut aku!”
Arya mengajak Erik ke pinggir
sungai di tengah hutan. Jauh dari keramaian tikus-tikus ataupun katak-katak
yang berlompatan.
“Kau tahu, penglihatan kita
sama ...” Erik memulai pembicaraan.
“Ya ... Aku heran dengan
diriku yang melihat kakak-kakak kandungku seperti katak. Aku juga heran dengan kakak-kakakku. Dua Kakak perempuanku itu sering pulang malam,
tiba-tiba paginya ia membawa banyak uang. Tapi uang itu selalu di rebut oleh
kakak laki-laki ku untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Entah kenapa aku muak dan
benci dengan semua itu.”
“Dan aku tidak melihat
kakak-kakakmu ...”
“Penglihatan kita sama, aku
juga tidak meihat satupun pelayan di rumahmu ...”
“Ya ... aku juga melihat ada
yang janggal. Dulu Ayahku hampir di penjara, tapi kemudian aku melihat Ayah
memberikan koper berisi uang pada seorang hakim. Kepalaku pusing tiba-tiba
setelah melihat kejadian itu ... dan aku melihat Ayahku seperti tikus...”
“Ayo kita pergi jauh dari
tempat ini ...” Arya berdiri dan mengulurkan tangannya.
“Ya, kita cari kehidupan baru
di selembar kertas putih, tanpa ada goresan tinta hitam ...”
Kedua anak berkaus putih itu
pergi jauh. Entah kemana. Mengikuti arus layaknya air yang mengalir.